Marara - Adat Tanah Toraja yang Masih Lestari

02.28

Dua pekan lalu Saya membawa serta Aiedil serta rombongan keluarga besar Mama berangkat ke Tanah Toraja, menghadiri sebuah acara yang dinamakan Marara. Sebuah adat Tanah Toraja ketika selamatan Tongkonan. Tongkonan sendiri merupakan rumah tempat menyimpan padi, yang dimana makin kesininya telah beralih fungsi sebagai hiasan atau sebagai penanda kasta. Tepatnya di Desa Biang Besar, yang merupakan tanah kelahiran nenek moyang keluarga kami, sebuah Tongkonan kami persembahkan untuk nenek Dongka dan disejajarkan dengan keturunan-keturunan dari silsilah Raja Nenek Moyang kami. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 12 jam dari Maros, tibalah kami di kampung Biang Besar. Hawa dingin langsung menyergap tubuh dan aroma pegunungan yang sangat-sangat Saya rindukan membayar kelelahan perjalanan hari itu. Mata Saya langsung terperangah dengan deretan Tongkonan-Tongkonan megah yang sejajar. Tak banyak yang bisa Saya explore dibagian luar, Saya memboyong Aiedil naik kerumah yang akan kami jadikan tempat menginap malam itu. Dan ternyata rumah itu bentuk Tongkonan juga tapi ini yang fungsinya sebagai rumah tinggal, rumah tinggal nenek moyang kami dahulu. Rumah Tongkonan ini sudah berumur ratusan tahun, dengan masih bahan yang sama, adapun perombakan sedikit di tahun 1960 tapi tetap tidak mengubah bentuk aslinya. Bahan atapnya saja masih menggunakan bambu, yang kini Sudan ditumbuhi tanaman parasit, meskipun begitu interiornya masih bagus, dinding-dindingnya masih kokoh dan atapnya pun masih kokoh dan berfungsi dengan baik, tidak ada kebocoran sama sekali kala hujan deras malam itu melanda.

Setelah makan bersama, sambut menyambut, ngobrol bersama om, tante, nenek, sepupu dan saudara-saudara lainnya memberikan suasana hangat dan membayar rindu kepada keluarga di kampung. Malam semakin larut, Aie pun sudah manisnya terlelap dalam mimpi. 




Tidak banyak yang bisa Saya abadikan di interior rumah Tongkonan tersebut, sebab ada sesuatu hal yang masih dianggap sakral dan tabuh bagi leluhur, kata tante dan om dalam bahasa Toraja. Sayang memang, mengingat ini adalah rumah Tongkonan yang cukup bersejarah di Tanah Toraja, dengan spot-spot interior yang unik tapi Saya tidak bisa mengabadikannya, hiks hiks...























Page haring kami bersiap menyambut tetamu yang datang, sebagian besar adalah keluarga besar dan kerabat yang memang tinggalnya di Tanah Toraja. Acara Marrara di mulai dari pukul 10 pagi yang berlangsung kurang lebih 2 jam. Serangkaian acara ini merupakan ibadah Katolik, dengan dipandu seorang Pastor (calon Pastor). Marara sendiri adalah sebuah acara syukuran atas berdirinya Tongkonan baru, yah miriplah dengan syukuran rumah baru. Tongkonan ini kami persembahkan untuk Nenek Uttu Dongka. 

Selepas acara berpamitan pulante menuju kampung nenek di Tampo, kampung Nenek Dongka. Kami bermalam semalam, dan keesokannya kami bertolak ke Makassar.


Total dari urunan Mama dan saudara (Tante dan Om) berhasil membangun 3 buah Tongkonan. Satu buah Tongkonan di Biang untuk Nenek Uttu Dongka, dua lagi berada di Tampo, 1 untuk nenek Dorkas (Mamanya Mama) dan 1 lagi untuk Nenek Uttu Dongka (Neneknya Mama).

Alhamdulillah rangkaian acara berjalan baik, meskipun dalam faktanya ada terselip kesedihan musibah yang terjadi tapi kami masih sangat bersyukur bahwasanya Bapak dan Mama, seta kedua Om dalam keadaan baik, sehat walafiat, Amin YRA.

Semoga masih diberi umur panjang bisa memboyong Suami juga ke Tanah Toraja. Aiedil sudah dua kali ke Tanah Toraja, dan dia mangat senang...karena suasana dingin nan adem.


You Might Also Like

0 komentar

Instagram